Seputar Sulteng

Industri Nikel di Morowali: Tulang Punggung Ekspor Nasional, Nyawa Buruh Jadi Taruhan

Global Sulteng
×

Industri Nikel di Morowali: Tulang Punggung Ekspor Nasional, Nyawa Buruh Jadi Taruhan

Sebarkan artikel ini
Industri Nikel di Morowali: Tulang Punggung Ekspor Nasional, Nyawa Buruh Jadi Taruhan
Industri nikel kian bersinar sebagai motor penggerak alias tulang punggung ekspor nasional. Dengan kebijakan hilirisasi, sektor ini menjadi penopang utama ekonomi, mencetak angka ekspor fantastis. Foto: IST.

GLOBALSULTENG.COM, MOROWALI – Industri nikel kian bersinar sebagai motor penggerak alias tulang punggung ekspor nasional. Dengan kebijakan hilirisasi, sektor ini menjadi penopang utama ekonomi, mencetak angka ekspor fantastis.

Namun, dibalik gemerlap itu, ada kisah pilu buruh yang menjadi roda penggerak kemajuan, menghadapi risiko tanpa perlindungan memadai.

Iklan - Geser ke bawah untuk melanjutkan
Iklan - Geser ke bawah untuk melanjutkan

Nasib Buruh Perempuan di Tengah Diskriminasi

Nurhasanah, seorang buruh perempuan di PT Chengtok Lithium Indonesia (CTLI), menjadi saksi nyata buruknya perlindungan pekerja. Sebagai kru lapangan, ia harus menyekop batubara dan mengangkat scaffolding tanpa masker respirator yang layak. Selama setahun bekerja, ia hanya mendapatkan satu set pakaian kerja, yang tetap dipakai meski sobek.

“Masker yang kami dapat hanya masker biasa, jumlahnya pun tidak cukup,” ucap Nurhasanah, yang kini juga menjabat sebagai Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN).

Baca juga: JATAM Desak Polda Sulteng Periksa Perusahaan Tambang di Morut Buntut Banjir Bandang Tewaskan Satu Pekerja

Perjuangannya untuk hak buruh perempuan, seperti cuti haid, membuatnya menjadi sasaran diskriminasi. Ia dipindahkan ke jam kerja malam dan dilarang naik bus saat pulang kerja. Bahkan, ia dipaksa mengoperasikan mesin press berat seorang diri.

“Diskriminasi ini berat, tapi saya bertahan demi memperjuangkan hak kawan-kawan,” ujar Nurhasanah.

Tekanan keluarga akhirnya membuatnya berhenti.

“Motor saya dirusak, suami saya meminta saya berhenti demi keselamatan,” tuturnya.

Risiko Tinggi, Perlindungan Minim

Michael J. Ronuntu, buruh di PT Ranger Nickel Industry (RNI), mengungkapkan kondisi kerja yang membahayakan nyawa. Bekerja di depan tungku bersuhu di atas 1.000 derajat Celsius, ia hanya dilengkapi pakaian kain biasa, bukan APD tahan api.

“Seharusnya kami menggunakan APD seperti aluminium foil tahan panas, tapi kenyataannya jauh dari itu,” jelasnya.

Setelah pandemi, perusahaan memberlakukan sistem kerja 12 jam per shift tanpa waktu istirahat yang cukup. Janji pengembalian sistem kerja normal tak pernah terealisasi.

“Ini benar-benar shift yang membunuh,” katanya.

Pelecehan Seksual Menghantui Buruh Perempuan

Kisah pilu lainnya datang dari Yunita Hartina, buruh kantin di perusahaan PT DSI. Ia mengaku kerap menjadi korban pelecehan seksual, mulai dari remasan hingga pukulan di bagian tubuhnya.

“Kejadian ini terus berulang, dan laporan kami hanya berakhir pada peringatan tanpa sanksi tegas,” ujar Yunita.

Minimnya fasilitas keamanan juga memperburuk keadaan. Buruh perempuan sering berjalan kaki hingga 20 menit dari parkiran ke pabrik, melewati area gelap yang rawan kejahatan.

“Sudah ada yang diserang, tapi perusahaan tidak mengambil tindakan berarti,” ungkapnya.

Potret Ketidakadilan di Industri Nikel

Di tengah kontribusi besar sektor nikel terhadap perekonomian, kisah buruh seperti Anas Husni menggambarkan realitas suram. Ia harus menyelam ke kolam limbah tanpa APD memadai, hanya mengenakan kaos dan celana pendek.

Permintaan alat pelindung dirinya belum dipenuhi dengan alasan klasik: proses pemesanan memakan waktu lama.

“Kami diminta bekerja dengan risiko tinggi tanpa perlindungan,” pungkasnya.

Industri nikel adalah tulang punggung ekspor nasional, tetapi buruhnya harus membayar harga mahal. Mereka menghadapi panas tungku, debu, diskriminasi, hingga pelecehan seksual.

Baca juga: Pasca Banjir Bandang hingga Tewaskan Satu Pekerja, JATAM Sulteng Desak Inspektur Tambang Evaluasi Aktivitas di Wilayah Teluk Tomori Morut

Di balik devisa yang terus mengalir, ada jerih payah dan nyawa yang dipertaruhkan. Ketidakadilan ini menjadi ironi besar bagi sebuah negara yang membanggakan diri sebagai penggerak ekonomi dunia.

Sudah saatnya hak buruh menjadi perhatian utama, karena di pundak merekalah kemajuan ini berdiri.