GLOBALSULTENG.COM, DONGGALA – Sejumlah anggota Forum Tani Nelayan Bou (FTNB) mendapat pemanggilan dari Polsek Sojol setelah dilaporkan oleh PT Rahmah Cipta Khatulistiwa (RCK).
Para anggota FNTB dituduh menghalang-halangi investasi perusahaan, meski pemanggilan tersebut tidak disertai surat resmi dari kepolisian.
Salah satu anggota FTNB Pandi menyampaikan bahwa pemanggilan itu terkait dengan aktivitas produksi PT RCK di Desa Bou Donggala yang dianggap ilegal karena belum memiliki Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB).
“Kami dipanggil ke Polsek Sojol karena dilaporkan oleh pihak perusahaan, mereka menuduh kami menghalang-halangi investasi atas aktivitas produksi PT RCK,” ucap Pandi, Minggu (9/2/2025).
Menurut regulasi, perusahaan pertambangan wajib memiliki RKAB sebelum beroperasi. Pasal 27 Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2023 menyebutkan bahwa perusahaan yang beroperasi tanpa RKAB dapat langsung dicabut izinnya tanpa melalui sanksi peringatan.
Disisi lain, Ketua FTNB Harun mengatakan bahwa pemerintah bersikap lemah terhadap PT RCK yang diduga melanggar aturan. Kehadiran perusahaan tersebut membawa dampak buruk bagi masyarakat Desa Bou, Kabupaten Donggala.
“Kami menolak keberadaan PT RCK karena telah membawa bencana bagi masyarakat Desa Bou, kehadirannya menciptakan perpecahan dan kesenjangan sosial ekonomi,” ujar Harun.
Lebih lanjut, Harun menyoroti dugaan kriminalisasi terhadap anggota FTNB. Pasalnya, selain pemanggilan tanpa surat resmi, polisi juga menyita sensor yang digunakan warga.
“Kami sudah sangat resah, PT RCK bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga menekan masyarakat agar kehilangan haknya untuk bersuara,” tuturnya.
“Bahkan, anggota kami dilaporkan ke polisi, sementara perusahaan sendiri beroperasi tanpa RKAB, ini seolah ada kongkalikong antara pengusaha dan penguasa,” tambahnya.
Sebuah video yang beredar semakin menguatkan dugaan pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT RCK. Dalam video berdurasi 1 menit 29 detik, Direktur Utama PT RCK Maman secara terang-terangan menyampaikan pernyataan kontroversial.
“Tiga puluh meter dari sungai itu lahan milik negara, wajib kita rusak,” ujar Maman dalam rekaman tersebut.
Pernyataan ini dinilai mencerminkan niat buruk perusahaan terhadap lingkungan. Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 Pasal 70, perusakan sungai merupakan tindakan yang bisa dipidana. Selain itu, Pasal 32 juga melarang pengelolaan yang merusak Daerah Aliran Sungai (DAS).