GLOBALSULTENG.COM, PALU – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tengah (Sulteng) menerima aksi ratusan aparat desa yang tergabung dalam Persatuan Pemerintah Desa Indonesia (PPDI) Sulteng bersama APDESI Merah Putih, PAPDESI dan PPDI, Senin (8/12/2025).
Mereka memprotes terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 yang dianggap semakin membebani pemerintah desa dalam mekanisme penyaluran dan pengelolaan Dana Desa.
Aksi digelar di halaman kantor DPRD Sulteng dengan membawa sejumlah tuntutan, terutama desakan agar pemerintah pusat mengevaluasi total PMK tersebut.
Para peserta aksi menilai regulasi baru itu tidak sesuai dengan kondisi objektif di lapangan dan justru menghambat pelayanan serta pembangunan di desa.
Perwakilan massa kemudian diterima berdialog oleh Anggota DPRD Sulteng, di antaranya Elisa Bunga Allo, I Nyoman Slamet, dan Yusuf. Sementara dari unsur pemerintah daerah hadir Asisten I Pemprov Sulteng, Fachrudin.
Dalam pertemuan itu, DPRD menegaskan komitmennya untuk menampung seluruh aspirasi dan memastikan keluhan para kepala desa akan ditindaklanjuti sesuai kewenangan lembaga.
DPRD juga mendorong agar pemerintah pusat membuka ruang dialog dan mempertimbangkan masukan daerah, sehingga pengelolaan Dana Desa ke depan tidak menambah beban administratif bagi pemerintah desa.
Baca juga: Gubernur Sulteng Anwar Hafid Harap Asesmen UIN Datokarama Meraih Predikat Akreditasi Unggul
Dalam dialog bersama DPRD, perwakilan APDESI dengan tegas menyatakan bahwa PMK Nomor 81 Tahun 2025 telah “mengkhianati rasa keadilan masyarakat desa”.
Mereka menyoroti pemblokiran Dana Desa tahap kedua yang seharusnya diterima pada akhir tahun, namun justru berubah menjadi “sebuah mimpi” akibat kebijakan baru tersebut.
APDESI menilai Menteri Keuangan tidak konsisten dalam pengelolaan keuangan negara karena menjadikan bencana alam di Sumatera sebagai alasan penahanan pencairan dana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut mereka, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi pembiayaan kegiatan desa sesuai anggaran yang telah diputuskan bersama pemerintah dan DPR.
“Perubahan sepihak terhadap kebijakan anggaran ini merusak keadilan dan mengancam kesejahteraan masyarakat desa,” tegas perwakilan APDESI.
Mereka juga mengingatkan bahwa keputusan tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bagi kepala desa yang telah bekerja sama dengan pihak ketiga untuk pembangunan.
APDESI mengungkapkan bahwa penundaan Dana Desa tahap kedua berdampak langsung pada berbagai kebutuhan krusial, seperti pembayaran gaji pegawai syari, kader Posyandu, guru TK, serta pembiayaan kegiatan pelayanan dasar dan pembangunan desa.
“Kami meminta Menteri Keuangan bertanggung jawab atas kekacauan pengelolaan keuangan negara, khususnya terkait Dana Desa tahap kedua. Banyak yang menggantungkan hidup pada dana itu,” ujar mereka.
Para aparat desa berharap pemerintah pusat segera mencabut keputusan tersebut dan mencairkan Dana Desa tanpa penundaan, agar pelayanan publik dan pembangunan desa dapat kembali berjalan normal.
DPRD Sulteng berjanji akan mengawal aspirasi tersebut dan menyampaikannya secara resmi kepada pemerintah pusat sebagai bagian dari upaya menjaga keberlanjutan pembangunan desa di seluruh wilayah Sulawesi Tengah.












