Seputar Sulteng

Dugaan Kolusi Tiga Pilar Dibalik Tambang Emas Ilegal Parigi Moutong

Global Sulteng
×

Dugaan Kolusi Tiga Pilar Dibalik Tambang Emas Ilegal Parigi Moutong

Sebarkan artikel ini
Editor: Rian Afdhal
Dugaan Kolusi Tiga Pilar Dibalik Tambang Emas Ilegal Parigi Moutong
Aktivitas tambang emas ilegal di Lambunu, Taopa dan Moutong tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda berhenti meski terus mendapat desakan publik. Foto: IST.

GLOBALSULTENG.COM, PARIMO – Aktivitas tambang emas ilegal di Lambunu, Taopa dan Moutong Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda berhenti meski terus mendapat desakan publik.

Para pelaku diduga tetap leluasa beroperasi berkat perlindungan dari pihak-pihak tertentu yang memiliki pengaruh.

Iklan - Geser ke bawah untuk melanjutkan
Iklan - Geser ke bawah untuk melanjutkan

Dugaan aktivitas tambang emas ilegal di sejumlah titik, mulai dari Desa Karya Mandiri, Taopa Utara, Gio Barat di hulu Sungai Taopa, hingga kawasan Lobu, kian menimbulkan kekhawatiran serius.

Pola yang sama sebelumnya terjadi di berbagai provinsi lain seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh yang kemudian berujung pada bencana longsor serta banjir bandang.

Mantan Kepala Perwakilan Ombudsman Sofyan Farid Lembah dalam percakapan di salah satu grup WhatsApp mengatakan bahaya ekologis saat ini berada didepan mata.

“Belajar dari pengalaman Sumatera, bila tidak dikendalikan (tambang emas ilegal), siap-siap hadapi bencana di Kabupaten Parigi Moutong,” ucap Sofyan, Sabtu (6/12/2025).

Kemudian, Anggota Dewan Nasional WALHI, Dedi Askary dalam opininya bertajuk “Mengurai Serakahnomics di Parigi Moutong: Krisis Kepercayaan dan Tumpulnya Penegakan Hukum PETI”, memaparkan dugaan adanya kolusi senyap yang melibatkan tiga pilar penting: aparatur kehutanan, penegak hukum dan elite politik-birokrasi. Dia menyebut jaringan itu sebagai “Trias Collusion”.

Aparat Polhut Dishut Sulteng dan Gakkumhut Sulawesi Wilayah II yang semestinya menjadi benteng hutan justru dinilai enggan mengambil tindakan tegas.

Baca juga: Mengurai Kasus Kecelakaan Kerja, Eksploitasi dan ISPA Sebelum Ribut Bandara IMIP Morowali

“Dalam logika Serakahnomics, pembiaran adalah bentuk investasi yang menghasilkan keuntungan tidak sah,” ujarnya.

Dedi pun menilai Polri yang memegang posisi kunci dalam penindakan PETI, sering bergerak lamban dalam sejumlah kasus besar. Kondisi ini memunculkan kecurigaan publik bahwa hukum telah berubah menjadi komoditas.

“Pergeseran dari paradigma keadilan restoratif ke ekonomi transaksional adalah ciri khas korupsi sistemik,” tuturnya.

Selain aparat, Dedi juga menyoroti dugaan peran sebagian pejabat daerah dan anggota legislatif yang memberi legitimasi informal melalui perizinan bermasalah atau sikap permisif terhadap aktivitas merusak lingkungan.

“Mereka gagal menjadi representasi rakyat dan pengawal keberlanjutan ekologi untuk generasi mendatang,” jelasnya.

Menurut Dedi, praktik “Serakahnomics” yang mewarnai operasi tambang emas ilegal telah menimbulkan dampak multidimensi yang bersifat jangka panjang dan sulit dipulihkan.

Pembukaan lahan secara brutal, rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) dan degradasi hutan membuat Parigi Moutong berada dalam ancaman bencana berulang.

Masyarakat lokal menjadi pihak yang paling merasakan dampak lingkungan dan ekonomi, sementara pelaku PETI berskala besar disebut tetap beroperasi tanpa hambatan.

Pembiaran yang terus berulang membuat kepercayaan publik terhadap institusi negara terkikis.

“Hukum kehilangan wibawanya dan direduksi menjadi alat tawar-menawar belaka. Inilah kerusakan paling parah bagi tatanan sosial,” katanya.