Seputar Sulteng

Mengurai Kasus Kecelakaan Kerja, Eksploitasi dan ISPA Sebelum Ribut Bandara IMIP Morowali

Global Sulteng
×

Mengurai Kasus Kecelakaan Kerja, Eksploitasi dan ISPA Sebelum Ribut Bandara IMIP Morowali

Sebarkan artikel ini
Editor: Rian Afdhal
Mengurai Kasus Kecelakaan Kerja, Eksploitasi dan ISPA Sebelum Ribut Bandara IMIP Morowali
Polemik pengelolaan bandara privat tanpa kehadiran otoritas resmi negara menempatkan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) kembali di pusaran sorotan publik. Foto: Humas PT IMIP.

GLOBALSULTENG.COM – Polemik pengelolaan bandara privat tanpa kehadiran otoritas resmi negara menempatkan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) kembali di pusaran sorotan publik.

Kontroversi tersebut seolah membuka kembali kotak pandora berisi catatan kelam perusahaan, dari kecelakaan kerja berulang, bencana ekologis, hingga dugaan eksploitasi buruh.

Iklan - Geser ke bawah untuk melanjutkan
Iklan - Geser ke bawah untuk melanjutkan

Kecelakaan kerja menjadi isu yang paling sering mencuat ke publik. Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mencatat, sepanjang Januari–Mei 2025 terjadi delapan insiden keselamatan dan kesehatan kerja di kawasan IMIP, dengan tujuh pekerja meninggal dunia.

Ledakan smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) pada 24 Desember 2023 masih membekas kuat. Insiden yang terjadi dini hari itu menewaskan 21 pekerja dan melukai 38 lainnya.

Desakan publik akhirnya mendorong kepolisian menetapkan dua warga negara asing berinisial ZG dan Z sebagai tersangka.

Bagi sebagian kalangan, tragedi ITSS dianggap sebagai titik kulminasi dari serangkaian kecelakaan di kawasan industri tersebut.

Pada Maret 2025, tiga pekerja, Demianus, Irfan, dan Akbar, tewas tertimbun longsor di area penyimpanan tailing. Insiden itu diduga berkaitan dengan fasilitas milik PT Huayue Nickel Cobalt (HYNC) dan PT QMB New Energy Material.

Pencarian selama berminggu-minggu hanya berhasil menemukan dua jenazah, sementara Akbar tak pernah diketemukan.

Baca juga: Polemik Bandara dan Para Elite-Pensiunan Jenderal Dibalik Berdirinya PT IMIP

Selain kecelakaan kerja, banjir menjadi persoalan yang terus menghantui warga Bahodopi. Sejak kawasan industri IMIP berdiri di atas lahan 4.000 hektare, banjir menjadi kejadian berulang setiap kali hujan turun.

Di akhir 2024, Desa Labota kembali terendam. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng mencatat lima indekos rusak ringan dan ratusan warga harus mengungsi.

Pada Maret 2025, air berwarna merah kecokelatan meluap, membanjiri kompleks IMIP dan desa-desa di sekitarnya. Aktivis lingkungan menyebut kondisi ini tak bisa dilepaskan dari ekspansi industri yang menggerus daya dukung lingkungan.

Persoalan perlindungan buruh juga menjadi isu tak berkesudahan. Riset Rasamala Hijau Indonesia (RHI) dan Trend Asia pada September 2024 memperlihatkan potret buram ketenagakerjaan di kawasan IMIP.

Dalam laporan 50 halaman itu, upah pokok buruh disebut berada di kisaran Rp3–3,1 juta, masih di bawah UMK Morowali sebesar Rp3.236.848.

Untuk mengejar pendapatan Rp7,5–8 juta per bulan, buruh terpaksa bekerja lembur hingga 12 jam per-hari. Mereka kehilangan waktu untuk kehidupan di luar pekerjaan.

Kasus Lestari menjadi contoh paling nyata. Buruh hamil itu mengalami PHK setelah meninggalkan pekerjaannya karena kelelahan.

Dia mengeluhkan sakit kepala dan nyeri pinggang sebelum akhirnya diberhentikan PT Indonesia Ruipu Nickel And Chrome Alloy (IRNC). Setelah protes keras serikat pekerja, perusahaan mencabut keputusan PHK dan mempekerjakannya kembali.

Di tengah geliat industri, masalah kesehatan masyarakat ikut memburuk. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) meningkat drastis di Bahodopi. Sepanjang Januari–Oktober 2025, tercatat 52.454 kasus.

“Kasus tertinggi ada di Bahodopi. Daerah lain yang jauh dari kawasan industri rata-rata di bawah 10 ribu kasus,” ujar akademisi Universitas Tadulako, Prof. Moh Ahlis Djirimu, dalam sebuah dialog publik mengenai legislasi hijau, Jumat (5/12/2025).

Rangkaian persoalan yang terus berulang, kecelakaan, banjir, eksploitasi dan lonjakan penyakit semakin mempertegas urgensi pembenahan tata kelola industri di Morowali.

Polemik bandara privat hanyalah satu pintu yang membuka realitas lebih besar, kawasan industri raksasa ini berdiri di atas sejumlah persoalan fundamental yang belum tuntas.

Di tengah desakan masyarakat sipil, pemerintah daerah dan pusat kini dituntut mengambil langkah nyata.

Bukan hanya memastikan kepatuhan hukum, tetapi juga menjamin keselamatan, kesehatan, dan martabat para pekerja serta warga yang hidup berdampingan dengan kawasan industri tersebut.