GLOBALSULTENG.COM, PALU – Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) untuk daerah penghasil sumber daya alam masih menjadi persoalan. Penaatan ulang DBH harus segera dilakukan agar lebih adil dan proporsional.
Gubernur Sulteng Anwar Hafid mengatakan daerah-daerah penghasil hanya menanggung beban sosial dan kerusakan lingkungan, tetapi manfaatnya masih jauh dari keadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), daerah penghasil seharusnya mendapatkan minimal 16 persen atau Rp7 triliun per tahun. Nyatanya, daerah hanya mendapat Rp222 miliar.
Menurut Anwar Hafid, pembayaran pajak smelter dari Sulteng ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) setiap tahunnya mencapai sekitar Rp200-Rp300 triliun per tahun.
“Kami tidak minta 16 persen, kami hanya minta 1 persen saja dari Rp300 triliun itu, kita bisa dapat Rp3 triliun per tahun,” ucapnya saat kegiatan Forum DPRD Penghasil Nikel di Kantor DPRD Sulteng, Minggu (7/12/2025).
Selain DBH, Anwar Hafid juga menyoroti ihwal susahnya mendapatkan data produksi bijih nikel (ore) setiap tahunnya.
“Kadang saya berpikir, mau buatkan jembatan timbang, tapi susah juga, karna banyak sekali jalannya,” ujarnya.
Bahkan, Anwar Hafid meyakini bahwa data yang masuk ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum tentu akurat.
“Jangan sampai yang diproduksi 100, tapi yang dilapor hanya 50, ini kita tidak tau, karna tidak ada satupun aparat yang bisa mengukur, kita hanya bisa membuka RKAB,” tuturnya.
Anwar Hafid pun mendorong agar semua bijih nikel yang ada di Sulteng, dikirim ke Sulawesi Selatan. Karena PNBP di daerah itu berada di mulut tambang, bukan dimulut industri.
Baca juga: Mengurai Kasus Kecelakaan Kerja, Eksploitasi dan ISPA Sebelum Ribut Bandara IMIP Morowali
“Proses pengenaan PNBP ini harus dikembalikan, karna sesungguhnya, para pemilik smelter ini hanya akal-akalan saja, dia yang punya tambang, dia juga yang punya smelter,” jelasnya.
Sementara, Ketua DPRD Sulteng Mohammad Arus Abdul Karim meminta agar pemerintah pusat mempertimbangkan keadilan dana bagi hasil bagi daerah penghasil sumber daya alam.
Pasalnya, daerah hanya menanggung beban sosial, infrastruktur menipis dan risiko kerusakan lingkungan yang serius. Sementara, porsi manfaat yang kembali ke daerah masih jauh dari keadilan.
Padahal, nikel diambil dan digali di daerah, proses pengangkutan maupun pengolahannya juga di daerah. Tetapi, daerah hanya merasakan dampak lingkungan dan infrastruktur.
“Parahnya lagi, demonya ada di daerah, tapi izinnya, pajaknya semua diatur di pemerintah pusat, selama ini jauh dari kesan adil bagi daerah,” katanya.
Kata Arus, daerah bangga menjadi bagian integral dari rantai pasok energi masa depan dunia. Tetapi, dibalik kontribusi besar tersebut, tidak bisa dipungkiri adanya ketimpangan yang dirasakan daerah.
“Daerah-daerah kita adalah pahlawan devisa bagi indonesia dan telah menjadi motor penggerak utama program hilirisasi industri nasional utamanya nikel,” ujar Arus.
Arus menambahkan, pembentukan forum DPRD penghasil nikel, merupakan langkah strategis dan mendesak. Forum tersebut adalah wadah untuk menyatukan langkah para wakil rakyat di daerah, bersama eksekutif agar kepentingan daerah penghasil nikel didengar dan diakomodasi dalam kebijakan nasional.
“Pemerintah pusat harus menimbang kembali DBH untuk daerah, jangan kami hanya dapat kerusakan dan demo masyarakat,” pungkasnya.
Diketahui, forum DPRD penghasil nikel ini diinisiasi oleh Ketua DPRD Sulteng Arus Abdul Karim dan menggandeng empat DPRD provinsi lainnya, diantaranya adalah Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan Papua Barat Daya.












