GLOBALSULTENG.COM, PARIMO – Tokoh masyarakat Sulawesi Tengah (Sulteng) sekaligus aktivis HAM, Dedi Askary, melontarkan kritik keras terkait maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo).
Dedi Askary menyebut praktik ilegal itu telah memasuki fase yang mengkhawatirkan dan menimbulkan paradoks: kekayaan sumber daya alam, tetapi kerusakan lingkungan yang kian tak terkendali.
Mantan Ketua Komnas HAM RI Perwakilan Sulteng itu mempertanyakan sikap aparat penegak hukum (APH) yang dinilainya enggan mengambil tindakan tegas.
“Diamnya APH menjadi pertanyaan publik, mengapa tidak ada tindakan tegas,” ucap Dedi, (2/12/2025).
Kata Dedi, aktivitas PETI terpantau masif di sejumlah desa, antara lain Lobu, Gio Barat, Taopa Utara, Lambunu, hingga Karya Mandiri.
Bahkan, dia menduga aparat telah mengantongi nama-nama cukong, pemilik alat berat, dan pihak yang membekingi operasi ilegal tersebut.
“Saya menduga APH sudah tahu siapa cukongnya, tapi mengapa mereka tidak tersentuh,” ujarnya.
Sejumlah media sebelumnya juga menyoroti sederet inisial terduga pelaku PETI di Taopa Utara, seperti RF alias AB, KN, GF, MO dan MD.
Baca juga: Polemik Bandara dan Para Elite-Pensiunan Jenderal Dibalik Berdirinya PT IMIP
Selain itu, seorang cukong berinisial FR diduga mengoperasikan sedikitnya tujuh ekskavator di Gio Barat sebelum alat-alat itu dikabarkan dipindahkan ke wilayah Lobu.
Dedi memaparkan sejumlah faktor yang menurutnya membuat penegakan hukum berjalan tidak optimal:
1. Keterbatasan Sumber Daya
– Jumlah personel minim.
– Anggaran operasional terbatas.
– Sarana pendukung lapangan tidak memadai.
2. Kompleksitas Jaringan PETI
– PETI melibatkan jejaring kuat, termasuk oknum berpengaruh.
– Muncul resistensi masyarakat yang bergantung pada tambang ilegal.
– Ada pengaruh politik lokal.
3. Lemahnya Koordinasi Antarinstansi
– Sinergi antara kepolisian, pemerintah daerah dan instansi kehutanan dinilai tidak solid.
– Koordinasi vertikal dengan pemerintah pusat belum optimal.
4. Potensi Konflik Kepentingan
– Dugaan keterlibatan oknum APH.
– Kedekatan pengusaha tambang ilegal dengan sejumlah pejabat.
Lebih lanjut, operasi yang dilakukan Polhut Dishut Sulteng dan Gakkumhut Sulawesi belum menyasar aktor utama.
“Operasi-operasi itu tidak menyentuh cukong atau pihak yang membekingi PETI,” tuturnya.
Dedi mendesak aparat untuk tidak hanya menindak pelaku lapangan, tetapi juga mengungkap dalang di balik jaringan PETI.
Dedi meminta Gubernur Sulteng Anwar Hafid memberikan perhatian serius terhadap masifnya PETI di Moutong, Taopa, dan Lambunu.
“Harapan masyarakat, gubernur bisa menghentikan aktivitas ilegal ini, kerusakan lingkungan sudah sangat memprihatinkan,” jelasnya.
Dedi mengingatkan dampak jangka panjang PETI yakni rusaknya hutan, air sungai yang tercemar, hingga meningkatnya risiko bencana seperti banjir dan longsor.
Contohnya, kata Dedi, bencana di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh sebagai peringatan.
“Apakah harus menunggu bencana dulu baru sadar, apa susahnya memanggil dan memeriksa orang-orang itu, tapi tidak dilakukan, kenapa,” katanya.
Dedi meminta seluruh pihak bersikap tegas demi menyelamatkan masa depan lingkungan Parigi Moutong.
“Kekayaan alam Parigi Moutong harus dinikmati secara berkelanjutan oleh masyarakat, bukan dikuasai segelintir orang melalui aktivitas ilegal,” pungkasnya.












