GLOBALSULTENG.COM, MOROWALI – Tanah ulayat masyarakat adat Toraja Rumpun Pong Salamba diduga diserobot PT Vale di Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Tanah yang dikuasai sejak tahun 1900 oleh nenek moyang masyarakat adat Toraja Rumpun Pong Salamba terancam hilang untuk aktivitas pertambangan nikel PT Vale.
Anggota masyarakat adat Toraja Rumpun Pong Salamba Harniati Irwan menyampaikan bahwa lokasi tersebut dulunya bernama Langtua.
Harniati bersama masyarakat lainnya menginap disebuah pondok ditengah hutan Desa Ululere yang estimasi perjalanan satu jam dari perkampungan sejak PT Vale mulai meremba ke wilayah tersebut.
Hampir sebulan Harniati bersama masyarakat lainnya menginap dilokasi tersebut demi menjaga tanah warisan dari aktivitas pertambangan.
Lahan yang diduga diserobot PT Vale itu memiliki sejarah panjang dikehidupan masyarakat adat. Sejak abad ke-19 telah dibangun lokasi itu telah dikembangkan menjadi pemukiman dan pusat perkebunan damar yang menjadi komoditas utama pada masanya.
Pong Salamba dikenal sebagai tokoh yang menggagas perkebunan damar demi mendukung perekonomian lokal di masa sebelum Indonesia merdeka.
“Usaha dan lahan inilah yang kami pertahankan, tanah ulayat masyarakat adat Toraja Rumpun Pong Salamba,” ucapnya beberapa waktu lalu.
Luas lahan 8.636 hektare yang dimiliki oleh masyarakat adat Rumpun Pong Salamba berdasarkan surat keterangan yang telah diterbitkan Kepala Desa Mahalona sejak tahun 1998.
Secara administratif, lahan itu terletak di 2 antara perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Bahkan, lahan di Sulteng terdapat sekitar 4.000 hektare yang dikelola oleh masyarakat adat Toraja Rumpun Pong Salamba dengan tanaman damar hingga makam Pong Salamba juga berada disana.
PT Vale saat ini memiliki konsesi lahan seluas 22.699 hektare di Sulteng dan 70.566 hektare di Sulsel di bawah naungan Kontrak Karya (KK).
Warga setempat tidak pernah diberi penjelasan mengenai bagaimana izin tersebut diterbitkan, padahal hak ulayat komunitas Pong Salamba.
Bahkan, PT Vale melarang masyarakat adat membuka lahan warisan untuk bercocok tanam. Meski begitu, masyarakat adat menolak tanahnya dicaplok oleh perusahaan tambang, meskipun mereka sadar kemungkinan mereka akan terusir.
“Kami tidak melihat niat baik pemerintah maupun perusahaan untuk menyelesaikan persoalan ini, tanah kami tiba-tiba saja diserobot tanpa sepengetahuan ahli waris Pong Salamba,” ujarnya.
Menanggapi itu, Head of Corporate Communications PT Vale Indonesia Tbk Vanda Kusumaningrum menyebut bahwa pihaknya berkomitmen untuk menjalankan operasional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku khusunya dalam pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).
Menurutnya, hak-hak masyarakat sangat dihormati PT Vale hingga selalu mengedepankan dialog setiap penyelesaian masalah lahan.
“Lahan yang diklaim tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung yang mana setiap orang atau badan usaha yang hendak melintasi atau melakukan kegiatan di dalam kawasan tersebut, wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia,” kata Vanda melalui Holding Statement, Selasa (18/2/2025).
Kata Vanda, PT Vale sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Pengelola Kawasan Hutan (PPKH) sudah melakukan berbagai upaya komunikasi dengan pemerintah dan perwakilan masyarakat untuk mencari solusi adil serta sesuai dengan ketentuan hukum berlaku.
“Perusahaan akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendapatkan solusi dan jalan keluar terbaik bagi semua pihak, kami selalu terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut dalam semangat musyawarah dan mufakat,” tuturnya.












